Kaligrafi Arab Ukir Kayu
A. Deskripsi
Visualisasi karya ukir kayu ini mengambil tulisan kaligrafi Arab dengan posisi horisontal. Tulisan menggunakan khat Tsuluts dengan penambahan bentuk luruhan air pada setiap hurufnya. Bidang background I berupa bidang tak teratur dengan adanya perpotongan bidang yang terletak tidak tepat ditengah. Untuk background kedua yaitu bidang dengan bentuk yang tidak teratur yang dikombinasikan berupa lubang dengan penambahan titik – titik (cecek).
Warna tulisan kaligrafi Arab sendiri merupakan warna kayu dengan pemberian
melamin clear gloss agar mengkilat. Sedangkan untuk background I menggunakan pewarna kayu (wood stain) berwarna coklat kenari dan background kedua berwarna coklat kopi, sehingga warna yang tercipta warna monokromatik.
Ath - Thalaaq dalam bahasa Indonesia berarti talak. Talak merupakan nama lain dari perceraian. Perceraian ini biasanya terjadi dalam kehidupan manusia yang sudah berumah tangga. Perceraian merupakan perbuatan yang tidak dilarang oleh Allah SWT namun dibenci oleh Allah SWT karena perceraian akan memutuskan tali silaturahmi (persaudaraan).
Dalam surat Ath - Thalaaq, diterangkan tentang hal – hal yang berkaitan dengan perceraian (ayat 1 - 3) juga menerangkan bahwa Allah SWT mengetahui segala yang ada di bumi dan di langit, yang dirahasiakan dan yang dinyatakan oleh manusia, karena Allah SWT maha mengetahui (ayat 4), juga tentang orang kafir (ayat 5 - 7) dan penegasan untuk menyembah kepada Allah SWT.\
B. Analisis Karya
Keindahan pada karya ini adalah warnanya yang cenderung gelap mengesankan kondisi yang mencekam karena jika melihat kata “ perceraian “ situasi yang dihadapi adalah situasi yang pelik, sulit dan pastinya menyedihkan. Perceraian pada karya ukir kayu ini disimbolkan pada bidang background I berupa raut horizontal berbentuk tak beraturan yang terputus antara sisi kanan dan sisi kiri
Selain itu, prinsip keserasian tampak antara bidang background I dan background II yaitu dari segi warna maupun bentuk bidang backgroundnya. Komposisi yang diciptakan adalah komposisi asimetris sehingga dalam pembuatan karya ukir kayu ini penulis lebih bebas berkreasi (tidak dibatasi) dan membuatnya menjadi lebih indah.. Bidang background II dengan lubang dan penambahan titik – titik (cecek) merupakan perulangan bentuk ( irama repetitif), sehingga selain karya tidak terlihat sepi, karya juga lebih hidup dan lebih menarik untuk dilihat.
Pusat perhatian terletak pada tulisan kaligrafi Arab dengan penambahan bentuk luruhan air dan tekstur yang mengkilat, untuk unsur gelap terang dapat sekali dilihat dalam karya ini dari segi pewarnaannya, dari permainan tinggi rendahnya juga karena pencahayaan secara langsung. Tekstur juga nampak pada karya ukir kayu ini, misalnya pada bidang background – nya ataupun dari keseluruhan tampilan objek yang ada dalam karya ukir ini.
Topeng
A. Deskripsi
Topeng adalah benda yang dipakai di atas wajah. Biasanya topeng dipakai untuk mengiringi musik kesenian daerah. Topeng di kesenian daerah umumnya untuk menghormati sesembahan atau memperjelas watak dalam mengiringi kesenian. Bentuk topeng bermacam-macam ada yang menggambarkan watak marah, ada yang menggambarkan lembut, dan adapula yang menggambarkan kebijaksanaan.
Topeng telah menjadi salah satu bentuk ekspresi paling tua yang pernah diciptakan peradaban manusia. Pada sebagian besar masyarakat dunia, topeng memegang peranan penting dalam berbagai sisi kehidupan yang menyimpan nilai-nilai magis dan suci. Ini karena peranan topeng yang besar sebagai simbol-simbol khusus dalam berbagai uparaca dan kegiatan adat yang luhur.
Kehidupan masyarakat modern saat ini menempatkan topeng sebagai salah satu bentuk karya seni tinggi. Tidak hanya karena keindahan estetis yang dimilikinya, tetapi sisi misteri yang tersimpan pada raut wajah topeng tetap mampu memancarkan kekuatan magis yang sulit dijelaskan.
1. Bahan dan Alat
I plastisin (lilin malam) / tanah liat/ gips untuk cetakan
I kertas bekas; usahakan bukan kertas glosy
I lem kayu; biasanya saya menggunakan lem merk Fox, bisa juga dengan membuat dari pati kanji 4. kuas untuk lem dan kuas untuk pewarna
I pewarna; cat air, acrilyc, cat tembok, dll
I air
2. Cara Kerja
Untuk membuat topeng (yang terbuat) dari kertas biasanya ada dua cara yaitu dengan membuat terlebih dahulu bubur kertas kemudian dilaburkan pada cetakan dan menempel lapisan-lapisan kertas pada cetakan sampai tebal/kaku. Saya biasa menggunakan cara yang kedua yaitu :
" bentuk cetakan model plastisin/tanah liat sesuai dengan bentuk wajah/topeng yang kita inginkan. Jika plastisin terasa terlalu keras untuk dibentuk, hangatkan dengan cara dijemur terlebih dahulu.
" Sobek-sobeklah kertas tipis dan basahi dengan air. Tempelkan SATU lapis kertas tipis basah itu, tidak memakai lem agar kertas bisa dilepas dari cetakan kelak.
" Setelah semua permukaan wajah cetakan tertutupi satu lapis tanpa lem itu, mulailah menempelkan sobekan-sobekan kertas berikut di atasnya (layer 2) dengan menggunakan lem kayu. Lakukan dengan rata sehingga tidak ada bagian yang terlalu tipis. Setelah beberapa lapis/layer (untuk kertas koran bisa 4-5 lapis), jemurlah dia hingga agak kering dan mudah dilepas dari cetakan pastikan semua permukaan model tertutupi kertas
" Lepaslah dengan hati-hati tumpukan kertas yang sudah berbentuk wajah itu dari cetakan plastisin.
" Setelah lepas dari cetakan Anda bisa menempelkan lagi kertas di luar maupun dalam lapisan jika dirasa kurang tebal, atau merapikan bagian kertas yang belum menempel, atau anda bisa langsung mewarnai topeng kertas itu sesuai dengan gambar yang anda kehendaki.
" Anda bisa memasang tali/karet di topeng itu, baik untuk dipakai di muka maupun untuk digantung. topeng sebagai hiasan dinding topeng untuk dipakai
B. Analisis
Topeng merupakan reflika wajah yang digunakan pada wajah untuk memerankan suatu karakter. Topeng biasanya digunakan untuk pertunjukan tari topeng dalam membawakan peran-peran tertentu. Topeng juga sering digunakan oleh anak-anak untuk bermain dengan sesamanya, seperti melucu dan menakut-nakuti temannya. Berbagai karakter topeng sering kita jumpai, ada wajah menakutkan, wajah lucu, wajah tua, wajah sedih dan ada juga wajah/muka binatang.
Nilai Ekonomi
Harga topeng sangat bevariasi sesuai dengan bahan yang digunakan ,dan sesuai dengan kapan dan dimana waktu pemakaiannya.Contohnya seperti,apabila hanya untuk pertunjukan seni tari atau sebagai perlengkapan tari maka harganya tak begitu mahal,tapi,apaila digunakan saat pesta maka harganya lumayan mahal,karena digunakan sebagai perlengkapan pesta agar terlihat mewah.
Nilai Budaya
Tradisi topeng hanya ditemukan di kalangan masyarakat adat Saibatin. Di kalangan masyarakat adat Saibatin yang tinggal di pesisir Barat, dikenal secara luas sebagai tradisi topeng sekura. Sedangkan topeng di kalangan masyarakat adat Saibatin yang menetap di kawasan pesisir Selatan tidak dikenal secara luas.Tradisi topeng—lebih dikenal sebagai tupping—di kalangan masyarakat adat yang tinggal di pesisir Selatan, sangat tertutup dan hanya diketahui oleh masyarakat adat pemilik tradisi. Tradisi ini kental dengan dunia mistis, dimana masyarakat adat meyakini betul adanya kekuatan magis yang menyertai topeng, sehingga untuk menampilkan tradisi ini ke hadapan publik diperlukan sebuah kegiatan seremonial yang khas. Kekuatan magi itu sangat erat kaitannya dengan sejarah munculnya tradisi topeng yang diyakini sebagai perwujudan dari para pengawal Ratu Darah Putih.
Tradisi topeng di kalangan masyarakat adat yang tinggal di kaki Gunung Rajabasa ini sangat erat dengan sejarah Keratuan Darah Putih. Keratuan Darah Putih merupakan kelompok marga yang hidup di kawasan yang kini disebut Kabupaten Lampung Selatan, di kaki Gunung Rajabasa. Keratuan merupakan sebuah komnitas masyarakat adat yang terdiri dari marga-marga, dimana setiap marga dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut penyimbang. Penyimbang adalah trah bangsawan tradisional Lampung yang selama ratusan tahun menempati lapisan teratas tatanan masyarakat, menandaskan diri sebagai keturunan langsung dari dewa-dewa purba yang membentuk keratuan-keratuan. Namun, trah ningrat bukanlah despot dengan kekuasaan absolute.
Nilai Sejarah
Latar belakang topeng di Bali pada umumnya, dikaitkan dengan adanya Topeng di Blahbatuh (Gianyar) dalam penelitian yang telah dilaksanakan dalam tahun 1977. Team akademi senitari Denpasar, berhasil mengumpulkan data-data, tentang bagaimana munculnya topeng di Blahbatuh ini.Namun sebelumnya perlu kiranya diketahui, seni pertunjukan mempergunakan topeng di bali sudah berkembang sejak zaman pemrintahan raja Jaya Pangus sekitar abad X. Dalam kumpulan prasasti Jaya Pangus ini sudah ditemui beberapa istilah, istilah seperti: atapukan yang artinya pertunjukan yang mempergunakan alat alat penutup muka ( TOPENG ).Di Pura dalam penataran Topeng Blahbatuh, tersimpan topeng sebanyak 22 buah berasal dari Jawa dan Bali, satu diantaranya adalah Topeng Maha Patih Gajah Mada, yang konon sempat diboyong Keistana, sekarang ini keberadaanya entah diamana, semoga Karisma dari topeng ini tetap memberikan Nuansa keagungan Nusantara.
Nilai Artistik
Nilai Artistik yang terkandung dalam topeng menurut saya terdapat pada kesatuan warna yang dihiaskan pada topeng,dan juga keserasian warna dari semua anggota wajah seperti hidung,mata,pipi dsb, sehingga menimbulkan keunikan tersendiri dari topeng tersebut.
WAYANG GOLEK
Deskripsi
Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat popular. Orang sering menghubungkan kata “wayang” dengan ”bayang”, karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan.
Di Jawa Barat, selain wayang kulit, yang paling populer adalah wayang golek. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang wong, dari semua wayang itu dimainkan oleh seorang dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain.
1. Asal-usul
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Merujuk pada beberapa hasil penelitian para ahli, konon wayang golek ini sudah ada sejak masa animisme dan dinamisme (sekitar 1500 tahun SM). Pada mulanya, beberapa ahli wayang menyatakan bahwa seni pertunujukan wayang berasal dari India, karena merujuk pada sumber cerita wayang sendiri yang diambil dari dua epik terkenal asal India yakni Mahabharata dan Ramayana. Tapi, setelah dilakukan penelitian lebih jauh, para ahli kemudian berkesimpulan bahwa wayang adalah kreasi asli orang Indonesia, karena tidak ada pertunjukan yang sama ditemukan dalam budaya lain.
Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu, yang terutama sangat populer di wilayah Tanah Pasundan. Sebagaimana alur cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang golek juga biasanya memiliki lakon-lakon baik galur maupun carangan yang bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabarata dengan menggunakan bahasa Sunda dengan iringan gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat boning, satu perangkat boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang dan rebab.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik.
Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut;
1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara;
2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan;
3) Nagara sejen;
4) Patepah;
5) Perang gagal;
6) Panakawan/goro-goro;
7) Perang kembang;
8) Perang raket; dan
9) Tutug.
2. Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.
3. Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
Analisis
1. Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa
2. Nilai Keagamaan/ Spiritual
Pada awalnya, pertunjukan wayang adalah sebuah pertunjukan suci untuk keperluan upacara dan ritual-ritual keagamaan. Hanya saja dalam perkembangannya kemudian pertunjukan wayang ini lambat laun menjadi multi fungsi, dalam artian pertunjukan wayang tidak lagi hanya dipentaskan pada acara-acara sakral saja tapi juga dapat dipetaskan pada acara-acara biasa seperti halnya seni budaya lainnya seperti untuk memeriahkan hajatan perkawinan, khitanan, peresmian gedung, dan sebaginya, meski memang peran pertunjukan wayang masih juga tak tergantikan pada beberapa acara yang sakral dan bersifat sepiritual seperti pada upacara ruwatan, mengusir roh jahat, mapag sri, bongkar bumi dan sebagainya.
Mengenai pertunjukan suci yang kerap melibatkan pertunjukan wayang sebagai medium berinteraksi dengan dunia lain (dunia roh) ini terkait dengan kultur budaya di nusantara yang memang sejak dahulu kala agama atau kepercayaan di nusantara ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, tidaklah mengherankan apabila pada awalnya, wayang diciptakan sebagai pertunjukan arwah nenek moyang. Bahkan pada masa kini pun, banyak orang yang masih percaya akan keberadaan arwah nenek moyang dalam benda-benda tertentu, yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural. Benda-benda tersebut, yang pada umumnya disebut jimat, terdiri dari keris, cincin, kalung, atau benda-benda sakti lainnya. Dalam usahanya untuk menghindarkan bahaya yang dibawa oleh arwah yang jahat, rakyat percaya bahwa mereka dapat mengandalkan pertolongan dari arwah nenek moyang dengan mengundang mereka dan memberikan tempat khusus, yang disebut unduk, sebuah boneka yang dibuat dari batang padi. Orang yang mempunyai keahlian mengundang arwah nenek moyang, disebut dukun. Sebenarnya, boneka inilah asal usul wayang. Beberapa orang ahli menyatakan bahwa kata wayang berasal dari wa (wadah) yang berarti tempat dan yang atau hyang, yang berarti dewa. ( Okke K.S. Zaimar dalam tesisnya yang berjudul Wayang Golek)
Menurut dugaan, sebagaimana wayang kulit di daerah Jawa, wayang golek digunakan oleh para wali untuk menyebarkan Islam di Tanah Pasundan. Karena ajaran Hindu sudah cukup akrab di masyarakat Sunda kala itu, cerita Mahabrata dan Ramayana dari Tanah Hindu dimodifikasi untuk mengajarkan Ketauhidan.
Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat yang dipercaya juga adalah ngaruat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang golek.
3. Nilai sosial
Meski tak lagi berbentuk layaknya manusia, tokoh-tokoh yang diperankan oleh boneka ini tetap saja merupakan representasi dari tokoh-tokoh khusus dalam cerita-cerita epik yang dikisahkan. Tapi karena karakter boneka tak lagi bisa menggambarkan perasaan-perasaan maupun watak dari sang tokoh yang diperankannya, maka disinilah peran penting sang dalang. Sang dalang yang memainkan wayang pun dituntut untuk bisa menggambarkan perasaan tokoh yang terdapat dalam sebuah lakon disamping juga menjadi narrator yang menjembatani komunikasi satu arah antara tokoh dalam wayang dengan pera penonton. Perasaan para tokoh juga dapat diperlihatkan melalui lagu yang ditembangkan para pesinden (penyanyi) dan musik yang dimainkan para nayaga (pemain musik). Semuanya bersinergi satu sama lain untuk memunculkan karakter dan gambaran perasaan dari sebuah pertunjukan wayang yang dapat dimengerti dan menjadi sedemikian hidup di dalam benak penonton.
4. Nilai Artistik
Keindahan yang dapat ditampilkan dari wayang itu sendiri adalah pewarnaan serta karakter yang memiliki kesatuan sehingga memunculkan karakter yang kuat. Dari karakter yang kuat itu pula, kita dapat menikmati keindahan artistik yang ditampilkan diatas panggung. Suatu wayang juga dapat dilihat keindahannya dari bentuk rautan atau ukirannya. Apabila pemberian warna serta ukirannya pas dan tepat, maka wayang itupun elok untuk dilihat.
Lakon juga menambah nilai artistik suatu wayang. Semuanya dapat kita amati dari bentuk wayang dan karakter yang bersinergi satu sama lain untuk memunculkan karakter dan gambaran perasaan dari sebuah pertunjukan wayang yang dapat dimengerti dan menjadi sedemikian hidup di dalam benak penonton.
UKIRAN TORAJA
DESKRIPSI
1. Pengertian tentang Ukiran Toraja
Ukiran kayu merupakan salah satu hasil budaya yang terkenal dari Toraja. Ukiran kayu juga merupakan peninggalan budaya yang sangat tua dan juga menjadi andalan wisata belanja Tana Toraja. Umumnya, ukiran Toraja menggunakan medium kayu bujur sangkar berukuran 20x20 cm yang berfungsi sebagai hiasan dinding. Ukiran Toraja merupakan pahatan dua dimensi yang menyerupai relief dan diberi warna-warna yang kuat menonjolkan nuansa etnik. Sebagai hasil budaya, tiap- tiap motif ukiran Toraja merepresentasikan suatu benda dan memiliki makna tertentu bagi kehidupan masyarakat setempat. Jumlah ukiran diperkirakan 67 jenis dengan aneka corak dan makna. Warna ukiran terdiri dari merah, kuning, putih dan hitam. Semua berasal dari tanah liat, yang disebut litak, kecuali warna hitam dari jelaga (hitam arak pada periuk) atau bagian dalam batang pisang muda.
2. Motif ukiran Toraja
a. Ne'Limbongan, bentuk dasarnya adalah lingkaran yang dibatasi bujur sangkar. Motif ini menggambarkan keempat arah mata angin utama yang dipercaya sebagai sumber rejeki. Ne'Limbongan juga dipercaya sebagai pencipta ukiran Toraja.
b. Pa'Barre Allo, dari kata "barre" yang berarti bundaran dan "allo" yang berarti matahari. Bentuknya utamanya adalah empat lingkaran di dalam bujur sangkar. Ukiran yang melambangkan kebesaran Toraja ini banyak ditemui di pucuk rumah-rumah adat Toraja.
C Pa'Kapuk Baka, bentuk utamanya adalah empat lingkaran yang saling berpotongan dan tersimpul dengan rumit. Dahulu ukiran ini dipakai sebagai tanda tempat penyimpanan harta. Simpul motif yang rumit dimaknai sebagai kesatuan keluarga yang tidak boleh tercerai berai demi kemakmuran.
d. Motif "Korong" yang berarti burung bangau melambangkan perlunya kerja sama dan hidup bermasyarakat. Ukiran "Kotte" yang berarti itik melambangkan peringatan akan perlunya tanggung jawab dalam hidup.
e. Motif "Asu" atau anjing bermakna kejujuran dan kesetiaan.
f. Motif Tedong yang berarti kerbau melambangkan pentingnya tabungan untuk masa depan.
g. Bai" yang berarti babi melambangkan kesejahteraan semua keturunan.
h. Pa'Manuk Londong yang bergambar ayam melambangkan perlunya penyesuaian diri di masyarakat.
3. Pembuatan Ukiran Toraja
Para pembuat ukiran Toraja masih banyak yang mengandalkan bahan-bahan alami untuk membuat pewarna bagi ukirannya. Pewarna alami dipercaya memberi warna yang tidak bisa ditiru pewarna sintetis. Pewarna alami juga dapat melekat dengan lebih baik pada kayu. Untuk membuat pewarna alami itu, para perajin memiliki resep kuno dari nenek moyang mereka. Secara umum, bahan utamanya adalah tumbuhan. Ada pula yang mencampurnya dengan tanah lempung untuk memberi kesan warna yang beragam serta merekatkan pewarna pada kayu.
Untuk mengukir ukiran Toraja tersebut menggunakan warna yang terdiri warna alam yang mengandung arti dan makna tersendiri bagi masyarakat Toraja, yaitu sesuai dengan falsafah hidup dan perkembangan hidup manusia Toraja. Oleh karena itu penggunaan warna pada ukiran tersebut tidak boleh diganti /dirubah dalam pemakaian. Bahan warna Passura’ (ukiran) disebut Litak yang merupakan warna dasar bagi masyarakat Toraja yaitu :
1. Warna merah (Litak Mararang)
2. Warna putih (Litak Mabusa)
3. Warna kuning (Litak Mariri)
4. Warna hitam (Litak Malotong)
Warna merah dan putih merupakan warna darah dan tulang manusia yang melambangkan kehidupan manusia. Warna tersebut dapat dipergunakan dimana saja pada waktu ada upacara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Warna kuning merupakan warna kemuliaan sebagai lambang ketuhanan yang dipergunakan pada waktu upacara Rambu Tuka’ demi untuk keselamatan manusia. Sedang warna hitam merupakan lambang dari kematian atau kegelapan dipakai pada waktu upacara Rambu Solo’ (upacara kematian). Arti warna hitam pada dasar setiap Passura’ (ukiran) adalah bahwa kehidupan setiap manusia diliputi oleh kematian karena menurut pandangan Aluk Todolo bahwa dunia ini hanya sebagai tempat bermalam saja atau tempat menginap sementara.
Semua warna Passura’ seperti yang tersebut diatas merupakan warna alam karena bahannya dari tanah, kecuali untuk warna hitam diambil dari arang belanga. Penggunaan bahan ini lebih tahan lama terhadap cuaca dan iklim dibandingkan dengan warna dari bahan sintesis.
4. Golongan passura’ berdasarkan peranan dan arti Passura’ (ukiran), yaitu :
a. Garonto’ Passura’ (Pokok-pokok ukiran) adalah mempunyai peranan simbol dasar kehidupan orang Toraja, yaitu : Pa’ Barre’ Allo, Pa’ Manuk Londong, Pa’ Tedong dan Pa’ Sussu’
b. Passura’ Todolo (Ukiran Tua) adalah ukiran yang menyangkut peralatan upacara yang dianggap berkasiat bagi pemakainya, yaitu : Pa’ Erong, Pa’ Ulu Karua, Pa’ Doti Langi’, Pa’ Kadang Pao, Pa’ Barana’, Pa’ Bai, Pa’ Lolo Tabang, Pa’ Daun Bolu, Pa’ Daun Paria, Pa’ Bombo Wai, Pa’ Kapu’ Baka, Pa’ Tangke Lumu’, Pa’ Bungkang Tasik, Pa’ Lolo Paku, Pa’ Tangki’ Pattung, Pa’ Bulintong, Pa’ Katik, Pa’ Talinga Tedong, dan lain-lain.
c. Passura’ Malolle’ (Ukiran kemajuan dan perkembangan), yaitu ukiran yang banyak dipakai mengukir bangunan yang tidak mempunyai peranan adat (Tongkonan Batu A’riri). Ukiran ini digunakan sebagai simbol sikap dan tingkah laku sosial atau pergaulan dengan dibatasi oleh pranata etika dan moral. Adakalanya ukiran ini ada pertalian arti dan maknanya dengan ukiran Passura’ Todolo, yaitu : Pa’ Sala’bi’, Pa’ Tanduk Ra’pe, Pa’ Tukku Pare, Pa’ Bunga Kaliki, Pa’ Poya Munda, Pa’ Bulintong Siteba’, Pa’ Bulintong Situru’, Pa’ Karrang Longa, Pa’ Papan Kandaure, Pa’ Passulan, Pa’ Sepu’ Torongkong, dan lain-lain.
d. Ukiran Pa’ Barrean (ukiran kesenangan) merupakan ukiran yang terdiri atas potongan-potongan yang sama bentuknya ada yang lurus dan adapula yang yang berupa lengkung, yaitu : Pa’ Bannangan, Pa’ Barra’-barra’, Pa Manik Bu’ku’, Pa’ Ara’ Dena’, Pa’ Komba Kalua’, Pa’ Bua Kapa’, Pa’ Gayang, dan lain-lain.
ANALISIS
Nilai-nilai yang terkandung yaitu :
1. Nilai sosial
Ukiran-ukiran Toraja ini dianggap oleh masyarakat toraja sebagai pandangan dan falsafah hidupnya. Ia merupakan lambang kehidupan sosial yang terjadi dalam aplikasi kehidupan sehari-hari masyarakat ini.
2. Nilai ekonomi
Harga dari ukiran-ukiran ini bervariasi sesuai bentuk dan bahan yang digunakan sehingga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dari masyarakat toraja. Ukiran-ukiran ini merupakan aset utama dari masyarakat Toraja dalam wisata belanja.
3. Nilai artistik
Keindahan yang dihasilkan dalam ukiran-ukiran ini sangat unik dan dari keunikannya dapat tergambarkan kebudayaan masyarakatnya. Ukiran Toraja merupakan pahatan dua dimensi yang menyerupai relief dan diberi warna-warna yang kuat sehingga menonjolkan nuansa etnik. Gambar-gambar yang dipahat juga adalah gambar yang menunjukkan kebudayaan dan ciri khas masyarakat Toraja dan warna-warna yang dipakai dalam ukiran tersebut merupakan warna-warna yang dibuat dari bahan alami sehingga membuatnya tampak sangat serasi dan sangat indah. Selain itu motif-motif yang digunakan juga sangat indah dan beraneka ragam jenis bentuk dan warna.
TENUNAN SUTERA WAJO
Deskripsi
Produksi sarung sutera yang dalam bahasa Bugis-Makassar di sebut lipa sabbe yang dipasok dari empat daerah di Sulawesi Selatan, yaitu Majene, Polewali, Wajo dan Soppeng, namun yang sangat terkenal, baik dalam skala lokal maupun Nasional bahkan Mancanegara adalah sarung sutera dari Kabupaten Wajo karena corak dan kualitasnya memiliki keunggulan yang lebih dibanding produksi dari daerah lainnya. Masyarakat Wajo yang terletak dipesisir teluk Bone, telah mengembangkan tenun sutera secara turun – temurun. Tak mengherankan jika sutera menjadi slogan dan motivasi masyarakat Wajo yang berarti sejahtera, ulet, tenteram, ramah dan aman.
Puncak kejayaan produksi sutera di daerah ini mulai dari tahun 1970 hingga 1983. awalnya tradisi tersebut dikembangkan secara manual dan tradisional, namun kini sudah ada beberapa pebgrajin sutera yang meninggalkan alat tenun bukan mesin, alasannya karena mereka ingin mengejar produksi. Dari 14 kecamatan yang ada di kabupaten Wajo, 10 kecamatan diantaranya, seperti kec.Tempe, Tanasitolo, Majauleng, Sabbangparu, Pammana dan Sojoanging sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup dari hasil usaha persuteraan.
Proses pembuatan sutera umumnya memakan waktu selama 1 bulan, mulai dari pemintalan benang sampai menjadi sarung atau produk tenun lainnya. Bahan dasarnya yaitu benang dari ulat sutera yang kemudian dipintal, setelah selesai benang direndam di dalam air mendidih selama 15 menit atau hingga warnanya menjadi putih bersih. Hal itu harus di lakukan agar bulu-bulu benang menjadi rapat dan menghilangkan kotoran benang sekaligus membuka serat benang. Setelah rangkaian itu selesai, selanjutnya benang di celupkan ke cairan pewarna, sesuai warna yang di inginkan. Terkadang proses pencelupan harus di lakukan berulang-ulang dan mencampur-campur beberapa warna hingga menghasilkan hasil pewarnaan yang baik. Setelah benang diwarnai kemudian diangin-anginkan dan tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung, setelah itu benang di beri kanji agar menjadi lebih licin dan tidak berbulu saat di tenun, kemudian helai-helai benang dimasukkan pada alat serupa sisir dan pengaturannya harus dilakukan sedemikian rupa sesuai corak dan warna kain yang diinginkan. Setelah itu proses penenunan yang sesungguhnya barulah di mulai.
1. Alat dan Bahan Pembuatan Sarung Sutra
Untuk membuat sarung sutera, dibutuhkan alat dan bahan tertentu. Alat dan bahan ini hanya banyak terdapat di daerah jawa, Kalimantan dan Sumatra. Namun di daerah Mataram dan Sulawesi juga ada. Tetapi, jumlahnya tidak banyak dibandingkan dengan di daerah jawa, Kalimantan dan Sumatra.
Alat – alat pokok yang harus di gunakan untuk membuat sarung sutra antara lain :
v Alat tenun
v Alat pemisah antara sutra menjadi benang sutra yang komplek dengan alat penggulung.
Bahan – bahan yang digunakan antara lain :
v Sutra yang kemudian diubah menjadi benang sutra
v Benang biasa
v Zat pewarna.
2. Cara Pembuatan Sarung Sutra
Untuk membuat sebuah sarung sutra diperlukan waktu ± 15 menit. Pembuatannya juga memerlukan beberapa pekerja atau karyawan. Hal pokok yang harus dimiliki seorang pekerja adalah ketelitian dalam bekerja.
Cara pembuatan lipa’ sabbe ini diperlukan beberapa tahap. Mulai dari pemisahan sutra menjadi benang sutra sampai dengan penjahitan ulang. Tahap pertama yaitu pemisahan antara sutra menjadi benang sutra. Proses ini adalah awal dari pembuatan sarung sutra. Pemisahan ini menggunakan alat tertentu yang kompleksdengan alat penggulung. Maksudnya, setelah dipisahkan akan langsung digulung. Benang sutra yang sudah dipisahkan tadi kemudian di beri zat pewarna menurut pola yang ingin dibentuk. Setelah proses pewarnaan selesai, benang pun langsung dikeringkan. Tahap selanjutnya yaitu mengubah benang yang sudah kering menjadi kain sutra untuk menjadikannya sebuah kain dilakukan proses penenunan dengan menggunakan alat tenun.
Dalam beberapa tahap, tahap ini yang sangat menentukan ketelitian dan kesabaran orang yang melakukannya. Setelah benang selesai ditenun, kain sutra yang dihasilkannya kemudian diukur sesuai yang diinginkan lalu digunting dan dijahit untuk membentuk sebuah sarung.
3. Tehnik,Ukuran, dan Daerah Asal Sarung Sutra.
a. Tehnik pembuatan sarung sutra adalah dengan tehnik tenun.
b. Ukuran sarung sutra beragam. Mulai dari yang terkecil yaitu 125 cm × 80 cm sampai dengan yang terbesar yaitu 140 cm × 100 cm.
Dalam proses penenunan kain sutera, pengrajin masih mendapatkan kendala yaitu kurangnya produksi benang sutera lokal, sehingga mereka terpaksa membeli benang impor dari Cina, Hongkong dan Taiwan. Tetapi kualitas benang impor memang lebih baik karena lebih kuat dan tidak mudah putus, selain itu stok impor selalu tersedia sehingga pengrajin tidak khawatir akan kekurangan benang.
Sulawesi selatan sendiri sebenarnya telah memproduksi benang sutera, misalnya didaerah Soppeng dan Enrekang. Soppeng dikenal sebagai sebagai daerah penghasil murbei/ulat sutera sedangkan di Enrekang terdapat pusat pemintalan benang sutera, hanya saja stoknya masih sangat terbatas dan hasil benangnya juga tidak terlalu bagus.
Analisis
Nilai sosial yang terkandung sangat tinggi, karena dengan menenun, para gadis atau masyarakat Wajo dapat saling berinteraksi bersama, dapat saling bercerita bersama apabila mereka menenun dengan cara berkelompok. Dengan begitu komunikasi antar sesama masyarakat Wajo akan terjalin dengan baik, dan tidak akan pernah putus selama mereka semua masih mempertahankan budaya menenun tersebut, karena lewat itu saling ketergantungan atau interaksi antar sesama penenun akan terjalin dengan baik dan hubungan antar kelompok masyarakat pun akan selalu baik, itu merupakan ciri utama kehidupan sosial yang baik, dimana setiap masyarakatnya dapat saling berhubungan baik.
Selain nilai sosial, terdapat pula nilai budaya, hal ini terbukti dengan adanya kegiatan menenun yang dijalankan secara turun-temurun pada lingkungan masyarakat Wajo, dan kebudayaan itu tidak akan pernah pudar, oleh sebab itu nilai kebudayaan yang terkandung sangat tinggi..
Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah nilai keindahannya, tenunan sutera Wajo merupakan karya yang sarat keindahan, mulai dari bahan dasarnya yaitu benang yang terbuat dari ulat sutera yang kemudian dipintal, berbagai macam motifnya yang indah dari berbagai macam warna-warnanya yang sangat beraneka yang di tenun secantik mungkin , yang sangat menarik pandangan mata. Kainnya yang bagus juga membuatnya tampak lebih indah.
Nilai ekonomi dari kain sutra itu sendiri ialah dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan menjualnya sesuai dengan keindahan dari motif dan warna-warnanya, tekhnik susah atau mudahnya dibuat kain sutra tersebut, dan bahan-bahan yang digunakan.
Fungsi dari kain sutra itu sendiri yaitu dapat diubah menjadi sarung ataupun rok untuk di pakai pada acara-acara seperti perta pernikahan, wisuda, dan acara-acara besar. Sutra juga biasanya diubah menjadi baju-baju pesta dan kerudung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar