English French German Spain Italian Dutch Russian Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

04/06/11

Sumber Hukum Islam

slam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syariat Allah yang terkandung dalam kitab Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syariat yang termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syariat Ilahi yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan - idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.[1]

Pengejawantahan syari’at Islam atas dua sumber utama dan pertama syari’at Islam dewasa ini tidaklah semudah membalikkan tangan. Era mekanisasai dan modernisasi telah menempatkan manusia menjadi bagian dari perkembangan yang penuh dengan kontroversi, tantangan dan persaiangan yang menyebabkan munculnya nilai dan kebutuhan baru bagi mereka yang tidak lagi sekedar sederhana. Eksistensi syari’at Islam yang konsisten pada prinsip dan asasnya tidaklah harus statis, tetapi justeru harus fleksibel dan dapat mereduksi perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia.

Sebagaimana dibahasakan Hasan Bisri hal tersebut merupakan kegiatan reaktualisasi Islam, dimana secara garis besarnya adalah menekankan pada pengejawantahan Islam dengan me-reinterpretasi sumber hukum Islam dengan menggunakan kebutuhan, situasai, dan kondisi dewasa ini sebagai paradigmanya.[2]

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka orang Islam – khususnya para intelektual muslim – dituntut untuk dapat melakukan rekonstruksi terhadap khazanah hukum Islam secara inovatif melalui media ijtihad. Sebab kajian soal ijtihad akan selalu aktual, mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi Islam tidak bisa dipisahkan dengan produk-produk fiqh dan yang namanya fiqh itu senantiasa fleksibel dan perkembangannya berbanding lurus dengan kehidupan dan kebutuhan manusia.

Namun dengan adanya fleksibilitas dalam syariat Islam dan tuntutan bahwa hukum Islam harus senantiasa up to date dan dapat mereduksi perkembangan kehidupan ummat – bukan berarti atau dimaksudkan ajaran Islam, terutama fiqh (hukum)-nya tidak konsisten, mudah mengikuti arus zaman dan bebas menginterpretasikan Al-Quran dan Sunnah sesuai kebutuhan hidup manusia – sehingga aktualisasi hukum Islam melalui pintu ijtihad dalam prakteknya dapat menggeser ke-qathi-an Al-Quran dan Sunnah hanya untuk memberikan legitimasi kepentingan manusia, baik politik, ekonomi, sosial, hukum dan lain sebagainya dengan dalih tuntutan humanisme.

Berdasakan fenomena tersebut, penulis memandang bahwa pemahaman akan sumber hukum secara radikal melalui kacamata filsafat memiliki urgensi yang tinggi sekali sebagai upaya untuk membentengi syariat Islam yang kontemporer namun dalam proses pengistinbatan hukumnya tetap memperhatikan ruh-ruh syariahnya atau dengan bahasa lain tidak menggadaikan ke-qathi-an syariat Islam (baca : Al-Quran dan Sunnah) hanya untuk dikatakan bahwa hukum Islam itu up to date dan tidak ketinggalan zaman.


B. Definisi Sumber Hukum

Kata sumber merupakan terjemahan dari lafadl المصدر , yang jama’nya المصادر yang mempunyai arti asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk sesuatu.[3] Dan apabila dikaitkan dengan hukum Islam, hukum Islam maka akan menjadi مصادر الأحكام (sumber-sumber hukum Islam). Namun kata tersebut dalam kitab-kitab klasik yang dihasilkan oleh para ulama salaf, baik ulama-ulama fiqh maupun ulama ushul fiqh tidak pernah ditemukan, karena penggunaan kata sumber dalil dalam kajian hukum Islam, mereka selalu menggunakan istilah dalil-dalil syara’ ( (الأدلةالشرعية.[4]

Abdul Wahab Khalaf dalam kitabnya ‘Ilm Ushul al-Fiqh menjelaskan tentang arti dalil, bahwa landasan berfikir yang bersifat qath’i disebut dalil, sedangkan yang bersifat dzhanni tidak dinamakan dalil. Bahwa ادلة الأحكام (dalil-dalil hukum) identik dengan اصول الأحكام (dasar-dasar hukum) danالأحكام مصادر (sumber-sumber hukum).[5]

Menurut Wahbah al-Zuhaily, kata dalil memiliki pengertian suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam menentukan hukum syara’ yang bersifat praktis, baik statusnya qath’i maupun dzanni.[6]

Jika dihubungkan dengan kata syari’at, kata مصادر dan ادلة akan mempunyai arti yang berbeda. Kata mashdar yang memiliki arti wadah, yang melalui wadah tersebut digali norma-norma hukum tertentu. Sedangkan kata dalil berarti petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu.[7]

Apabila dilihat dari definisi di atas, menurut Satria Effendi bahwa sumber dalil ushul fiqh hanya dapat digunakan untuk al-Qur’an dan as-Sunnah saja, karena keduanya merupakan wadah yang dapat digali hukumnya dan tidak bagi ijma’ dan qiyas dan yang lainnya, karena sumber tersebut bukanlah wadah tetapi sudah merupakan metode untuk menemukan hukum.[8]


C. Landasan Sumber Hukum

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa rujukan yang dapat dijadikan landasan sumber dalil.

1. Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS. An-Nisa: 59)

Perintah untuk mengikuti Allah dan rasul-Nya adalah perintah untuk mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedang perintah untuk mentaati orang yang memegang kekuasaan ialah perintah untuk untuk mengikuti hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan yang dibuat dan disetujui oleh badan-badan yang mempunyai kekuasaan membuat undang-undang dari golongan kaum muslimin. Adapun perintah untuk memulangkan perkara yang di perselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perintah untuk menggunakan analogi (qiyas), selama tidak ada nash dan ijma’.

Yang dimaksud dengan tertib dalam ber-istidlal dari dalil al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma dan al-Qiyas ialah apabila terdapat suatu kejadian yang memerlukan ketetapan hukum pertama-tama hendaklah dicari terlebih dahulu di dalam al-Qur’an, ditetapkanlah hukum sesuai dengan yang ditunjuk oleh al-Qur’an. Tetapi apabila ketetapan hukumnya tidak ditemukan di dalam al-Qur’an barulah beralih meneliti as-Sunnah. Tetapi apabila ketetapan hukumnya tidak ditemukan di dalam as-sunnah, barulah beralih meneliti keputusan para mujtahid yang menjadi ijma’ dari masa ke masa tentang masalah yang sedang dicari hukumnya itu. Tetapi apabila ketetapan hukumnya tidak ditemukan di dalam ijma, maka hendaklah berusaha dengan jalan menganalogikannya kepada peristiwa yang sejenis yang telah ada nashnya. [9]

2. Hadits riwayat Abu Daud dari Anas bin Malik :

Adapun sebagai dasar hukum keharusan menertibkan jenjang dalam ber-istidlal dengan 4 macam dalil hukum tersebut ialah wawancara Rasulullah Saw dengan Muadz bin jabal sesaat ia dilantik sebagai penguasa untuk negeri Yaman. Kata berliau:
عن انس ان رسول الله لما اراد ان يبعث معاذا الى اليمن قال: كيف تقضى اذا عرض لك قضاء, قال أقضى بكتاب الله, قال فان لم تجد فى كتاب الله, قال فبسنة رسول الله, قال فان لم تجد فى سنة رسول الله و قال أجتهد رأيى ولا الو, فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره, وقال الحمدلله الذي وفق رسول الله لما يرضى الله ورسوله.(رواه احمد وابو داود والترمذى)

Artinya: Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Rasul Saw ketika akan mengutus Muadz ke Yaman. Beliau bersabda: Bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang dikemukakan padamu?” “Kuhukumi dengan kitab Allah,” Jawabnya, “Jika kamu tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah, lantas bagaimana? Sambung Rasulullah, “Dengan Sunnah Rasulullah, lalu bagaimana? tanya Rasulullah lebih lanjut, “ Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya,” jawabnya dengan tegas. Rasululllah Saw, lalu menepuk dadanya seraya memuji, katanya, Alhamdulillah, Allah telah memberi taufiq kepada utusan rasulullah sesuai dengan apa yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Turmudzi)

3. Sejarah sahabat

Menurut riwayat al-Baghawi yang diterima dari Maimun bin Mahram bahwa Abu Bakar jika hendak menyelesaikan suatu perkara yang dimintakan penyelesaiannya oleh orang yang bersangkutan, dan beliau tidak memperoleh hasil dari penelitiannya terhadap nash-nash di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah lalu mengundang tokoh-tokoh agama untuk memusyawarahkannya. Kalau mereka telah mengambil putusan secara bulat terhadap perkara tersebut, beliau lalu menjalankan putusan itu. Umar bi Khattab pun menjalankan tindakan seperti apa yang dilakukan Abu Bakar tersebut.[10]


D. Sumber Hukum dalam Islam

Dalam pembahasan ini terdapat sedikit kerumitan karena persoalan teologis yang berkaitan dengan penjelasan mengenai sumber hukum. Secara empiris, hukum yang sekarang berkembang di masyarakat mempunyai beberapa istilah teknis yang secara implisit menunjukkan penentu (sumber) hukum.

Sumber hukum Islam berasal dari sumber Ilahi dan potensi-potensi insani. Oleh karena itu, pada dasarnya, sumber hukum Islam ada yang naqliyyah dan aqliyyah. Sehingga, seringkali para pakar hukum Islam menyatakan bahwa sumber hukum ada tiga, Pertama al-Qur’an; kedua Sunnah; dan ketiga ijtihad.[11] Ijma’, qiyas, istihsan dan sebagainya tidak lagi disebut sebagai sumber hukum Islam karena semuanya merupakan hasil ijtihad.

Menurut Khallaf bahwa ulama mujtahid telah sepakat mengenai Allah Swt. sebagai sumber hukum. Menurutnya kesepakatan itu bisa dilihat dari definisi hukum yang dikemukakan. Menurut pakar Ushul Fikih, hukum adalah perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan Muslim dewasa, baik berupa tuntutan untuk berbuat, pilihan, maupun praktek hukum yang berkaitan dengan sebab, syarat, dan halangan-halangannya. Mereka sepakat bahwa sumber hukum adalah Allah Swt.[12] Dengan demikian, sumber hukum tertinggi adalah al-Qur’an, karena ia diyakini sebagai firman Allah.

Sumber hukum yang kedua adalah Sunnah. Sunnah atau hadits adalah perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.[13] Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw adalah sumber hukum karena beliau juga berkedudukan sebagai penentu hukum. Hal ini karena terdapat sejumlah ketentuan dalam hadits yang tidak terdapat dalam kitab suci al-Qur’an.[14]

Ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits terkadang tidak menggunakan petunjuk yang tegas sehingga memerlukan penggalian hukum yang dilakukan oleh ulama. Oleh karena itu, ulama melakukan kegiatan akademik dalam rangka memperoleh dan menangkap maksud Allah dan rasul-Nya melalui proses yang disebut dengan ijtihad atau istinbath. Oleh karena itu, dalam batas-batas tertentu, ulama mujtahid juga berkedudukan sebagai penentu hukum.[15]

Dengan Demikian, sumber hukum dalam Islam adalah al-Qur’an (Allah), hadits (Nabi Muhammad Saw), dan ijtihad. Akan tetapi, perkembangan peradaban mendorong perkembangan hukum sehingga melahirkan sejumlah istilah teknis hukum yang juga menggambarkan konsep dan situasi hukum yang berbeda-beda.


E. Akal Sebagai Sumber Hukum

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa sumber hukum yang tertinggi adalah al-Qur’an. Sumber hukum yang kedua adalah hadits; dan sumber hukum berikutnya adalah ijtihad.[16] Akan tetapi, al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar berpendapat, bahwa sumber hukum yang tertinggi adalah akal (al-ra’y), dan sumber hukum berikutnya adalah Qur’an, hadits dan ijma’.[17] Meskipun demikian, secara praktis, antara pendapat ulama pada umumnya dengan pendapat al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar ada sedikit persamaan; karena al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum tertinggi pada dasarnya dipahami oleh para ulama dengan ra’y melalui ijtihad; dan ijtihad adalah bagian dari ra’y.

Perdebatan mengenai kemampuan akal untuk mengetahui baik-buruk sering kita jumpai dalam literatur ushul fiqih. Dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga kelompok.[18] Pertama, ulama dari kalangan Mu’tazilah (Washil Ibn ‘Atha) berpendapat bahwa akal dapat mengetahui baik-buruk yang dilakukan oleh hamba meskipun tanpa media rasul-rasul dan kitab-kitab-Nya; apabila dakwah, rasul dan kitab suci belum sampai kepada suatu masyarakat, maka masyarakat tersebut sudah terkena taklif melalui akalnya; karena mereka dapat menentukan baik-buruk dan benar-salah berdasarkan pertimbangan akalnya.[19]

Kedua, ulama Asy’ariyah (Abu al-Hasan al-Asy’ari dan para pengikutnya) adalah ulama yang berpendapat bahwa akal dan tidak mungkin dapat menentukan baik-buruk dan benar salah. Baik-buruk dan benar-salah serta kewajiban menjalankan yang baik dan menjauhi sesuatu yang buruk ditentukan hanya oleh syara’ (Allah dan rasul), bukan oleh akal manusia.[20]

Ketiga, ulama Maturidiyah (Abu Mansur al-Maturidi) dan para pengikutnya adalah ulama yang bersikap akomodatif dan mencoba mengakomodir serta mencari jalan tengah antara pendapat Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

Ulama Maturidiyah, disatu sisi berpendapat bahwa akal dapat mengetahui benar-salah dan bail-buruk. Sedangkan di sisi lain berpendapat bahwa sesuatu yang benar dan baik menurut akal tidak mesti benar dan baik menurut Allah; karena akal manusia itu kadang-kadang benar dan kadang-kadang salah. Oleh akrena itu, menurut Maturidiyyah bahwa hukum Allah tentang benar-salah dan baik-buruk hanya dapat diketahui melalui rasul dan kitab-Nya.[21]

Pendapat Maturidiyah di atas mengandung dua konsekuensi; Pertama, sebagian baik-buruk dan benar-salah dapat diketahui atas petunjuk Allah melalui rasul dan kitab-Nya; Kedua, sebagian baik-buruk dan benar-salah dapat diketahui melalui penalaran akal.


F. Penutup

Sebagaimana yang telah di uraikan di atas, bahwa sumber hukum ada tiga, Pertama al-Qur’an; kedua Sunnah; dan ketiga ijtihad. Ijma’, qiyas, istihsan dan sebagainya tidak lagi disebut sebagai sumber hukum Islam karena semuanya merupakan hasil ijtihad.

Meskipun al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar menempatkan wahyu sebagai sumber dalil pertama, tetapi secara praktis, antara pendapat ulama pada umumnya dengan pendapat al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar ada aspek kesamaan; karena al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum tertinggi pada dasarnya dipahami oleh para ulama dengan ra’y melalui ijtihad; dan ijtihad adalah bagian dari ra’y.

Akan tetapi, di atas semua itu yang terpenting adalah bagaimana hukum Islam yang konsisten pada prinsip dan asasnya yang bersumber dari mashadir al-ahkam mampu mejawab tantangan zaman. Ini tidak harus dipahami secara statis, tetapi justeru harus fleksibel dan dapat mereduksi perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia. Tetapi hal ini juga bukan berarti ajaran Islam, terutama fiqh (hukum)-nya tidak konsisten, mudah mengikuti arus zaman dan bebas menginterpretasikan al-Quran dan Sunnah sesuai kebutuhan hidup manusia. Wallahu a’lam bi al-Shawab

[1] Yusuf Qardhawi, Malamih al-Mujtama al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), hlm. 151.

[2] Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat dalam Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. Vii.

[3] Nasrun Harun, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos, 1997), hlm.15

[4] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 81.

[5] Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul Fiqh, (Kuwait: Daar al-Fikr, 1978), hlm. 20.

[6] Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Beirut: Daar al-Fikr, 1986), hlm. 417.

[7] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1992), hlm. 20.

[8] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.77.

[9] Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1983), hlm. 29.

[10] Ibid, hlm. 30

[11] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: PT. Lathifah Press, 2004), hlm. 50.

[12] Khallaf, op.cit., hlm. 96. Lihat juga Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, (Jakarta dan Padang Panjang: Sa’adiyah Putra. t.th.), hlm. 8-9.

[13] Mahmud al-Thahan, Tafsir Musthalah al-Hadits, (Surabaya: Bunkul Indah, 1985), hlm. 15.

[14] Dalam Q.S. al-Nisa [4]: 23 ditetapkan perempuan-perempuan yang haram dinikahi. Sebagai tambahan dari ayat tersebut, Nabi Muhammad Saw melarang poligami (nyandung, Sunda) antara keponakan dan bibinya. Lihat Abi ‘Abd Allah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mugirah Ibn Bardazabah al-Bukhari al-Ja’fi, Shahih al-Bukhari, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyat, 1981), jilid III, juz IV, hlm. 128. Lihat juga al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), jilid II, hlm 78.

[15] Jaih Mubarok, Hukum Islam: Konsep, Pembaruan dan Teori Penegakkan, (Bandung: Benang Merah Press, 2006), hlm. 22.

[16] Abd Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa sumber hukum Islam adalah Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas. Lihat Khallaf, op.cit., hlm. 21.

[17] ‘Abd al-Jabbar al-Hamadani, Sarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965) ditahqiq oleh ‘Abd al-Karim Utsman, hlm. 88.

[18] Lihat Mubarok, op.cit., hlm. 23.

[19] Khallaf, op.cit., hlm. 98-99. Lihat juga al-Hamadani, op.cit., hlm. 41.

[20] Syams al-Din Muhammad al-Mahalli, Hasiyyah al-Banany ‘ala Matn Jam’ al-Jawami’, (t.t.: Syirkah Nur Asia, t.th.), jilid I, hlm. 54-55.

[21] Khallaf, op.cit., hlm. 98-99.



DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Jabbar al-Hamadani, Sarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo: Maktabah Wahbah, 1965.

A. Djazuli dan I. Nuroel ‘Aen, Ushul Fiqh; Metodologi Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2000.

Abd al-Hamid Hakim, al-Sullam, Jakarta dan Padang Panjang: Sa’adiyah Putra, t.th.

Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul Fiqh, Kuwait: Daar al-Fikr, 1978.

Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos, 1997.

Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta: Wacana Ilmu, 1997.

Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Jaih Mubarok, Hukum Islam: Konsep, Pembaruan dan Teori Penegakkan, Bandung: Benang Merah Press, 2006.

Mahmud al-Thahan, Tafsir Musthalah al-Hadits, Surabaya: Bunkul Indah, 1985.

Muhaimin, Dimensi-dimensi Studi Islam, Surabaya: Karya Abditama, 1994.

Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam, Bandung: Al-Maarif, 1983.

Nasrun Harun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 1997.

Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005.

Satrio Pinanto, Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.

Syams al-Din Muhammad al-Mahalli, Hasiyyah al-Banany ‘ala Matn Jam’ al-Jawami’, t.t.: Syirkah Nur Asia, t.th.

Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Daar al-Fikr, 1986.

Yusuf Qardhawi, Malamih al-Mujtama al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Kairo: Maktabah Wahbah, 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome