Historiografi secara harfiah berarti penulisan sejarah. Langkah ini
merupakan langkah terakhir dalam penelitian sejarah. Dalam langkah ini dapat
dilihat bagaimana peneliti sejarah mengkomunikasikan hasil penelitiannya kepada
orang lain atau dalam bentuk apa tulisannya dibaca untuk umum.
Menulis sejarah dalam bentuk historiografi pada dasarnya merupakan
bentuk rekonstruksi sejarawan atau peneliti sejarah terhadap sumber-sumber
yang telah ia temukan dan telah diseleksi dalam bentuk kritik. Historiografi
ibarat membuat suatu bangunan. Dalam membuat suatu bangunan, seorang
ahli bangunan mencoba memasang bahan-bahan yang telah disediakan. Dia
memasang kayu untuk kusen, pintu, jendela; semen, pasir, dan batu bata
untuk dinding; cat untuk mencat dinding. Apabila kita perhatikan bahan-bahan
tersebut dalam keadaan masih tersimpan secara terpisah-pisah atau belum
digunakan, maka kesan yang akan timbul dalam diri kita ialah menjadi tidak
menarik. Akan tetapi, apabila bahan-bahan itu kita coba susun akan menjadi
suatu bangunan yang indah. Hal tersebut sama pula halnya dalam merekonstruksi
sumber-sumber sejarah. Ketika sumber-sumber sejarah masih dalam bentuk
yang terpisah-pisah belum dikonstruksi, maka itu akan menjadi barang yang
mati. Akan tetapi, ketika sumber-sumber sejarah itu kita rekonstruksi, akan
menjadi suatu bangunan tulisan atau karya tulis yang hidup. Karya ini menjadi
suatu cerita yang menarik dan enak dibaca.
Sebagai contoh kita menemukan catatan rapat desa, laporan jumlah penduduk
desa beserta pendapatannya, jumlah luas tanah, jumlah orang-orang desa
yang bersekolah, catatan transaksi jual beli hasil pertanian antara petani dengan
pedagang dari kota, laporan program pengembangan pertanian di desa, dan
sumber-sumber lainnya. Kalau sumber-sumber itu masih terserak-serak, belum
direkonstruksi, belum bisa bercerita apa-apa akan barang-barang yang mati.
Akan tetapi, ketika sumber-sumber itu direkonstruksi oleh sejarawan, sumbersumber
itu menjadi hidup. Dari sumber-sumber itu tersusunlah bagaimana
cerita perkembangan desa tersebut.
Hal yang harus diperhatikan dalam historiografi adalah kemampuan menulis.
Dalam menulis sejarah, dituntut kemampuan untuk berimajinasi. Dalam hal
ini, tulisan sejarah ibarat suatu karya seni. Apabila seorang penulis sejarah
memiliki kemampuan berimajinasi yang baik, maka tulisannya akan enak dibaca.
Pembaca akan diajak ke masa lampau. Apa yang diceritakan dalam tulisannya
itu seolah-olah telah menghidupkan masa lampau yang telah mati.
Ada tiga bentuk penulisan sejarah, yaitu penulisan yang bersifat narasi,
deskripsi, dan analitis. Penulisan yang naratif, lebih banyak bercerita sesuai
dengan apa yang diinformasikan oleh sumber sejarah. Hal yang diceritakan
dalam tulisannya itu hanya menjawab pertanyaan tentang apa dan di mana
peristiwa itu terjadi. Deskriptif yaitu penulisan yang hampir sama dengan
naratif, sama-sama berorientasi terhadap sumber. Selain menceritakan apa
yang ada dalam sumber, dalam penulisan yang deskriptif lebih detail dan
kompleks. Kekayaan sumber sangat menentukan deskripsi penulisannya sehingga
banyak yang diceritakannya.
Penulisan sejarah sebenarnya merupakan bagian dari hasil penelitian.
Langkah utama yang harus dilakukan dalam penelitian adalah membuat pertanyaan
masalah yang akan dijadikan masalah penelitian. Penulisan yang bersifat analitis
pada dasarnya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan.
Uraian penulisannya bersifat problem solving, yaitu memecahkan masalah.
Pertanyaan lebih diperluas tidak hanya terbatas pada apa, siapa dan di mana,
tetapi mengajukan pertanyaan mengapa dan bagaimana. Untuk menjawab
pertanyaan mengapa dan bagaimana, dibutuhkan kemampuan yang bersifat
analitis dari peneliti sejarah. Sebagai contoh, sejarah pemberontakan. Dalam
penulisan yang bersifat naratif, hanya banyak bercerita tentang bagaimana
awal pemberontakan itu timbul, berlangsung, dan sampai dengan berakhirnya.
Jadi, uraian lebih bersifat kronologis semata.
Penulisan yang bersifat deskriptif akan menguraikan lebih detail mengenai
pemberontakan itu, tidak hanya keberlangsungan dan berakhirnya, tetapi mungkin
menguraikan sebab-sebab yang lebih detail dan kompleks serta bagaimana
kondisi masyarakat sebelum terjadinya pemberontakan. Dengan demikian,
akan memberikan informasi yang lebih banyak dalam menguraikan pemberontakan
itu dibandingkan dengan uraian yang bersifat naratif. Adapun pendekatan
yang bersifat analitis, melihat pemberontakan dari berbagai faktor. Pemberontakan
sebagai sebuah tema penelitian, diuraikan dengan pembagian tema-tema atau
topik-topik yang lebih kecil. Misalkan dililihat dari aspek politik, sosial, dan
ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah terjadinya pemberontakan. Dengan
uraian yang lebih analitis, diharapkan dapat diperoleh kesimpulan-kesimpulan
yang bersifat unik dan khas, yang bisa membedakan dengan pemberontakan
lainnya. Bahkan dapat ditemukan satu model tersendiri tentang teori dari
suatu pemberontakan.
Apabila kita perhatikan, langkah-langkah penelitian sejarah sepertinya
harus melakukan tahapan-tahapan yang sifatnya berjenjang. Artinya, kita harus
mendahulukan nomor yang awal, baru kemudian nomor langkah berikutnya.
Misalnya kita harus melakukan dulu kritik, baru memberikan interpretasi.
Dalam prakteknya, sesungguhnya tahapan-tahapan penelitian sejarah tidaklah
kaku. Artinya, kita tidak seharusnya mengikuti tahapan-tahapan awal baru
berikutnya. Kita dapat melakukan tahapan tersebut secara bersamaan, misalnya
ketika kita sedang melakukan kritik sesungguhnya kita pun sudah melakukan
interpretasi. Karena pada saat itu, kita sudah bisa menentukan mana sumber
sejarah yang cocok dengan topik penelitian. Begitu pula ketika kita sedang
melakukan interpretasi, kita sendiri sudah melakukan penulisan. Sebab, ketika
kita melakukan penulisan, pada dasarnya kita pun sedang memberikan penafsiran
terhadap sumber-sumber sejarah yang digunakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar