Perempuan, Menulislah! Demi keadilan, kesetaraan, kemanusiaan dan kecantikan
Saya pikir, kita patut gembira menyambut maraknya kehadiran perempuan penulis di jagat perbukuan Indonesia. Semakin banyak perempuan yang bisa mengekspresikan dan menyebarkan luaskan gagasannya lewat tulisan adalah sinyal positif semakin dekatnya kita pada masyarakat yang berkeadilan.
Disadari atau tidak, struktur masyarakat yang tidak adil antara perempuan dan laki-laki masih terjadi pada masyarakat kita. Masalah ketidakadilan gender bukan semata masalah individu.Ada seperangkat paradigma yang sudah tertanam di kepala laki-laki yang berlaku tidak adil terhadap perempuan. Ini adalah persoalan masyarakat, budaya dan negara secara keseluruhan sebagai sebuah sistem sosial.
Bahasa mencerminkan masyarakat yang menggunakannya. Maka pada tataran masyarakat di mana terdapat struktur yang bias gender dan cenderung tidak adil terhadap perempuan, hal itu pulalah yang akan tercermin dalam bahasanya. Sebagai contoh, kita masih saja menggunakan istilah Wanita Tuna Susila(WTS) yang ditujukan pada perempuan pekerja seks. Namun istilah Laki-Laki Tuna Susila sebagai ‘pembeli’ jasa para perempuan pekerja seks atau laki-laki mucikari kerap tidak digunakan. Padahal kegiatan prostitusi hanya akan berlangsung sesuai hukum permintaan dan penawaran, yang melibatkan perempuan dan laki-laki. Lantas mengapa perempuan yang digelari ‘tuna susila’?
Menurut Michel Foucalt seorang filsuf mahzab Post-strukturalis, bahasa merangkum pengetahuan tentang dunia. Bila hendak dikritisi, bahasa yang kita gunakan bukanlah media yang netral melainkan representasi yang berperan dalam reproduksi makna. Maka bicara bahasa tidak dapat dilepaskan dari hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi dalam masyarakat.
Dalam masyarakat yang patriarki, pihak perempuanlah yang mengalami lack of power atau kelangkaan kekuasaan. Maka untuk memperbaiki struktur masyarakat yang lebih adil, strategi yang harus ditempuh perempuan adalah bicara! Menurut Foucalt untuk melawan, perempuan harus menjadi ‘subjek yang berbicara’ yang juga berarti "subjek dari pernyataan".
Diam dan bungkam akan menjadi tempat berteduh bagi kekuasaan, maka perempuan harus tampil, bicara dan menolak dijadikan objek. Seperti yang dikatakan Helen Cixous-feminis Prancis, sangat penting bagi perempuan untuk memecah kebisuan teks dengan melancarkan strategi yaitu bicara dan menulis.
Maka itu penting seorang perempuan untuk tampil sebagai subjek, dalam hal ini sebagai penulis. Kita sebagai perempuan memiliki kewajiban moril untuk menyuarakan suara-suara perempuan yang selama ini terbisukan demi dunia yang lebih adil, lebih setara, dan lebih manusiawi (bagi perempuan) seperti yang kita impi-impikan.
Kemudian, menulislah demi kecantikan kita. Fatimah Mernissi seorang feminis Marokko menulis dalam bukunya Women's Rebellion and Islamic Memory bahwa menulis lebih baik ketimbang operasi pengencangan kulit wajah atau krim pelembab.
Rahasia yang terdapat dalam menulis adalah membuat seorang yang acuh tak acuh menjadi pembaca yang penuh perhatian. Menurut Fatimah begitu kita telah belajar menulis-yaitu menyampaikan suatu pesan yang dekat dengan hati kita- orang lain yang sebelumnya acuh tak acuh, kini akan menaruh lebih banyak perhatian untuk mengetahui apa yang harus kita katakan. Sehingga kita tidak perlu berteriak-teriak agar didengarkan. Untuk mengubah orang-orang di sekitar kita, pertama-tama kita harus mengubah diri kita sendiri. Perubahan orang lain hanyalah konsekuensi dari perubahan sikap kita dalam memandang diri kita dan orang lain. Kita harus percaya bahwa yang hendak kita sampaikan adalah sesuatu yang penting dan karenanya harus disampaikan dengan cara yang baik pula.
Tentunya kita tidak mengadopsi teori Fatimah Mernissi, Menulis = Obat Mujarab untuk Awet Muda, tersebut secara harfiah. Kecantikan adalah sesuatu yang sifatnya inside-out. Kita bisa menjadi cantik karena sikap hidup kita yang positif dan produktif dalam berkarya. Tinggalkan krim wajah dan pil diet. Ambil pulpen dan kertas, mulailah menulis. Menulis apa saja. Ketidaknyamanan kita ketika disuit-suiti laki-laki di jalan, kejengkelan kita ketika ada yang mengomentari bagian tubuh kita yang pribadi, kemarahan kita membaca berita perkosaan perempuan di koran. Apa saja.
Maka perempuan, menulislah! Demi impian-impian kita tentang dunia yang lebih adil, lebih setara, dan lebih berkemanusiaan buat perempuan. Biar dunia ini bisa mendengar kegelisahan-kegelisahan kita, pengalaman-pengalaman kita, ide-ide gila kita, para perempuan. Dan tentu saja menjadi lebih cantik dengan standar yang kita buat sendiri. Tidak melulu berkulit putih, bertubuh seksi, dan berambut lurus panjang seperti standar yang dibuat oleh masyarakat patriarkat ini!
Saya pikir, kita patut gembira menyambut maraknya kehadiran perempuan penulis di jagat perbukuan Indonesia. Semakin banyak perempuan yang bisa mengekspresikan dan menyebarkan luaskan gagasannya lewat tulisan adalah sinyal positif semakin dekatnya kita pada masyarakat yang berkeadilan.
Disadari atau tidak, struktur masyarakat yang tidak adil antara perempuan dan laki-laki masih terjadi pada masyarakat kita. Masalah ketidakadilan gender bukan semata masalah individu.Ada seperangkat paradigma yang sudah tertanam di kepala laki-laki yang berlaku tidak adil terhadap perempuan. Ini adalah persoalan masyarakat, budaya dan negara secara keseluruhan sebagai sebuah sistem sosial.
Bahasa mencerminkan masyarakat yang menggunakannya. Maka pada tataran masyarakat di mana terdapat struktur yang bias gender dan cenderung tidak adil terhadap perempuan, hal itu pulalah yang akan tercermin dalam bahasanya. Sebagai contoh, kita masih saja menggunakan istilah Wanita Tuna Susila(WTS) yang ditujukan pada perempuan pekerja seks. Namun istilah Laki-Laki Tuna Susila sebagai ‘pembeli’ jasa para perempuan pekerja seks atau laki-laki mucikari kerap tidak digunakan. Padahal kegiatan prostitusi hanya akan berlangsung sesuai hukum permintaan dan penawaran, yang melibatkan perempuan dan laki-laki. Lantas mengapa perempuan yang digelari ‘tuna susila’?
Menurut Michel Foucalt seorang filsuf mahzab Post-strukturalis, bahasa merangkum pengetahuan tentang dunia. Bila hendak dikritisi, bahasa yang kita gunakan bukanlah media yang netral melainkan representasi yang berperan dalam reproduksi makna. Maka bicara bahasa tidak dapat dilepaskan dari hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi dalam masyarakat.
Dalam masyarakat yang patriarki, pihak perempuanlah yang mengalami lack of power atau kelangkaan kekuasaan. Maka untuk memperbaiki struktur masyarakat yang lebih adil, strategi yang harus ditempuh perempuan adalah bicara! Menurut Foucalt untuk melawan, perempuan harus menjadi ‘subjek yang berbicara’ yang juga berarti "subjek dari pernyataan".
Diam dan bungkam akan menjadi tempat berteduh bagi kekuasaan, maka perempuan harus tampil, bicara dan menolak dijadikan objek. Seperti yang dikatakan Helen Cixous-feminis Prancis, sangat penting bagi perempuan untuk memecah kebisuan teks dengan melancarkan strategi yaitu bicara dan menulis.
Maka itu penting seorang perempuan untuk tampil sebagai subjek, dalam hal ini sebagai penulis. Kita sebagai perempuan memiliki kewajiban moril untuk menyuarakan suara-suara perempuan yang selama ini terbisukan demi dunia yang lebih adil, lebih setara, dan lebih manusiawi (bagi perempuan) seperti yang kita impi-impikan.
Kemudian, menulislah demi kecantikan kita. Fatimah Mernissi seorang feminis Marokko menulis dalam bukunya Women's Rebellion and Islamic Memory bahwa menulis lebih baik ketimbang operasi pengencangan kulit wajah atau krim pelembab.
Usahakan menulis setiap hari. Niscaya kulit Anda akan menjadi segar
kembali akibat kandungan manfatnya yang luar biasa! Dari saat Anda
bangun, Menulis meningkatkan aktivitas sel. Dengan coretan pertama
di atas kertas kosong, kantung di bawah mata Anda akan segera
lenyap dan kulit Anda akan terasa segar lagi. Menjelang tengah hari,
ia berada pada kondisi prima. Dengan kandungan aktifnya,
menulis menguatkan struktur kulit ari Anda. Pada akhir hari, kerut-
kerut Anda sudah memudar dan wajah Anda menjadi lembut kembali.
Rahasia yang terdapat dalam menulis adalah membuat seorang yang acuh tak acuh menjadi pembaca yang penuh perhatian. Menurut Fatimah begitu kita telah belajar menulis-yaitu menyampaikan suatu pesan yang dekat dengan hati kita- orang lain yang sebelumnya acuh tak acuh, kini akan menaruh lebih banyak perhatian untuk mengetahui apa yang harus kita katakan. Sehingga kita tidak perlu berteriak-teriak agar didengarkan. Untuk mengubah orang-orang di sekitar kita, pertama-tama kita harus mengubah diri kita sendiri. Perubahan orang lain hanyalah konsekuensi dari perubahan sikap kita dalam memandang diri kita dan orang lain. Kita harus percaya bahwa yang hendak kita sampaikan adalah sesuatu yang penting dan karenanya harus disampaikan dengan cara yang baik pula.
Tentunya kita tidak mengadopsi teori Fatimah Mernissi, Menulis = Obat Mujarab untuk Awet Muda, tersebut secara harfiah. Kecantikan adalah sesuatu yang sifatnya inside-out. Kita bisa menjadi cantik karena sikap hidup kita yang positif dan produktif dalam berkarya. Tinggalkan krim wajah dan pil diet. Ambil pulpen dan kertas, mulailah menulis. Menulis apa saja. Ketidaknyamanan kita ketika disuit-suiti laki-laki di jalan, kejengkelan kita ketika ada yang mengomentari bagian tubuh kita yang pribadi, kemarahan kita membaca berita perkosaan perempuan di koran. Apa saja.
Maka perempuan, menulislah! Demi impian-impian kita tentang dunia yang lebih adil, lebih setara, dan lebih berkemanusiaan buat perempuan. Biar dunia ini bisa mendengar kegelisahan-kegelisahan kita, pengalaman-pengalaman kita, ide-ide gila kita, para perempuan. Dan tentu saja menjadi lebih cantik dengan standar yang kita buat sendiri. Tidak melulu berkulit putih, bertubuh seksi, dan berambut lurus panjang seperti standar yang dibuat oleh masyarakat patriarkat ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar